TEMPO Interaktif, Jakarta: Seorang peneliti satwa menemukan spesies katak yang mampu berkomunikasi dalam modulasi suara ultrasonik. Katak itu bernama latin Huia cavitympanum, di temukan di Pulau Kalimantan, Indonesia, atau yang sering juga disebut pulau Borneo. Spesies ini bukan spesies baru, namun penemuan atas kemampuan pendengaran spesifik dari katak ini, yang menjadi berita baru dalam riset dunia katak. Melengkapi temuan serupa pada jenis katak Amolops tormutus yang hidup di Cina.
Di dunia, hanya sedikit satwa yang mempunyai kemampuan pendengaran dalam modulasi suara ultrasonik. Beberapa spesies mamalia, seperti kelelawar, paus dan lumba-lumba, memiliki kemampuan komunikasi ultrasonik, namun tak setinggi kemampuan pendengaran dua jenis katak yang ditemukan di Cina dan Kalimantan ini. Gelombang ultrasonik yaitu gelombang suara dengan frekuensi modulasi lebih dari 20 kiloheartz.
Kebanyakan dari 5.000 jenis spesies katak di seluruh dunia, juga binatang lain seperti burung dan reptil, berkomunikasi pada frekuensi 5 – 8 kiloheartz. Manusia dapat menangkap suara dengan frekuensi sampai 20 kiloheartz, dengan ancaman mengalami kerusakan gendang telinga. Rata-rata manusia berkomunikasi pada frekuensi antara 2 – 3 kiloheartz.
Peter Naim, profesor biologi dari Universitas California dan mahasiswanya Victoria Arch, yang melakukan riset ini, masih terus melakukan penelitian, mengapa spesies katak yang hidup ditengah ekosistem sungai yang bising itu, mempunyai kemampuan komunikasi ultrasonik. “Hipotesis kami, katak-katak ini menggunakan komunikasi frekuensi tinggi, untuk melakukan intervensi suara bising di lingkungannya. Kemungkinan juga untuk komunikasi dengan jenis katak yang sama, yang terletak berjauhan,” ujar Victoria Arch.
“Sepertinya, ini juga menjadi kiat untuk menarik pasangan dan mendirikan zona batas wilayah hidupnya,” ujar Arch. Arch juga menemukan katak Kalimantan ini mempunyai perbedaan fisiologis dengan jenis-jenis katak lain pada umumnya. Gendang pendengaran pada jenis-jenis katak lain, biasanya menempel pada kepala. Sedangkan gendang pendengaran pada katak Kalimantan ini, menempel pada tengkorak, seperti umumnya pada mamalia, yang membentuk ceruk pada tengkorak. Sehingga katak Kalimantan ini, kadang juga dikenal dengan sebutan tambahan berupa cirinya, hole-in-the-head-frog.
Dua bulan lalu, Albert Feng, peneliti dari Universitas Illinois, juga menemukan katak dengan penampakan serupa di Cina, Amolops tormotus, yang mempunyai kemampuan komunikasi ultrasonik serupa, dan telah dipublikasikan di jurnal Nature edisi 16 Maret 2006. Menurut hipotesa peneliti, kemampuan komunikasi ultrasonik pada Amolops tormotus ini sebagai strategi penyesuaian atas lingkungan hidupnya yang berada dibawah air terjun besar, yang setiap saat mengeluarkan suara gemericik air dengan frekuensi tinggi. Sehingga katak ini mengembangkan kemampuan komunikasi ultrasonik untuk menyaingi suara gemuruh air terjun. Kedua jenis katak di Cina dan Kalimantan ini, tampaknya mempunyai ciri-ciri fisiologi gendang suara yang mirip.
Di Cina, para peneliti melakukan ekperimen dengan membawa alat musik ke dekat sungai tempat katak itu hidup, dan memperdengarkan suara dalam frekuensi modulasi ultrasonik ke lingkungan. Dan mereka kemudian menemukan suara respon yang dikeluarkan dari para katak, dan kemudian merekamnya.
Naim dan Arch tengah merencanakan perlakuan serupa pada katak Kalimantan.
Kebanyakan dari 5.000 jenis spesies katak di seluruh dunia, juga binatang lain seperti burung dan reptil, berkomunikasi pada frekuensi 5 – 8 kiloheartz. Manusia dapat menangkap suara dengan frekuensi sampai 20 kiloheartz, dengan ancaman mengalami kerusakan gendang telinga. Rata-rata manusia berkomunikasi pada frekuensi antara 2 – 3 kiloheartz.
Peter Naim, profesor biologi dari Universitas California dan mahasiswanya Victoria Arch, yang melakukan riset ini, masih terus melakukan penelitian, mengapa spesies katak yang hidup ditengah ekosistem sungai yang bising itu, mempunyai kemampuan komunikasi ultrasonik. “Hipotesis kami, katak-katak ini menggunakan komunikasi frekuensi tinggi, untuk melakukan intervensi suara bising di lingkungannya. Kemungkinan juga untuk komunikasi dengan jenis katak yang sama, yang terletak berjauhan,” ujar Victoria Arch.
“Sepertinya, ini juga menjadi kiat untuk menarik pasangan dan mendirikan zona batas wilayah hidupnya,” ujar Arch. Arch juga menemukan katak Kalimantan ini mempunyai perbedaan fisiologis dengan jenis-jenis katak lain pada umumnya. Gendang pendengaran pada jenis-jenis katak lain, biasanya menempel pada kepala. Sedangkan gendang pendengaran pada katak Kalimantan ini, menempel pada tengkorak, seperti umumnya pada mamalia, yang membentuk ceruk pada tengkorak. Sehingga katak Kalimantan ini, kadang juga dikenal dengan sebutan tambahan berupa cirinya, hole-in-the-head-frog.
Dua bulan lalu, Albert Feng, peneliti dari Universitas Illinois, juga menemukan katak dengan penampakan serupa di Cina, Amolops tormotus, yang mempunyai kemampuan komunikasi ultrasonik serupa, dan telah dipublikasikan di jurnal Nature edisi 16 Maret 2006. Menurut hipotesa peneliti, kemampuan komunikasi ultrasonik pada Amolops tormotus ini sebagai strategi penyesuaian atas lingkungan hidupnya yang berada dibawah air terjun besar, yang setiap saat mengeluarkan suara gemericik air dengan frekuensi tinggi. Sehingga katak ini mengembangkan kemampuan komunikasi ultrasonik untuk menyaingi suara gemuruh air terjun. Kedua jenis katak di Cina dan Kalimantan ini, tampaknya mempunyai ciri-ciri fisiologi gendang suara yang mirip.
Di Cina, para peneliti melakukan ekperimen dengan membawa alat musik ke dekat sungai tempat katak itu hidup, dan memperdengarkan suara dalam frekuensi modulasi ultrasonik ke lingkungan. Dan mereka kemudian menemukan suara respon yang dikeluarkan dari para katak, dan kemudian merekamnya. Naim dan Arch tengah merencanakan perlakuan serupa pada katak Kalimantan.